Senin, 07 Juni 2010
moved.
Minggu, 24 Mei 2009
DIPLOMASI ASEAN DALAM UPAYA MENYELESAIKAN KONFLIK KAWASAN DI KEPULAUAN SPARTLY
DIPLOMASI ASEAN DALAM UPAYA MENYELESAIKAN KONFLIK KAWASAN DI KEPULAUAN SPARTLY
TUGAS MATA KULIAH: PENGANTAR DIPLOMASI
DOSEN: SHISKHA
Disusun oleh :
Sahid Priambodo 208000069
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS FALSAFAH DAN PERADABAN
UNIVERSITAS PARAMADINA
2009
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Berawal pada bulan April tahun 1988 ketegangan terjadi di kepulauan Spratly antara
Sebenarnya Pertikaian di kepulauan Spartly sudah berlangsung sejak lama dan aktor yang berperan di dalamnya pun tidak hanya
Dilihat dari peta biasa kemungkinan orang tidak akan menemukan nama kepulauan Spratly. Spratly merupakan sebuah gugusan pulau-pulau kecil dan pulau-pulau karang yang jumlahnya kira-kira sekitar 600-an. Sedangkan 100-an diantaranya sering tertutup permukaan air laut jika sedang pasang. Berdasarkan peta klaim yang dikeluarkan masing-masing negara yang terlibat, nama kepulauan Spartly akan berbeda-beda. Seperti Filipina menyebutnya dengan Kalayaan (tanah kebebasan),
Kenyataannya terjadi perang klaim dan upaya-upaya penguasaan atas kepulauan Spartly. Persoalannya menjadi semakin krusial karena klaim-klaim tersebut saling tumpang tindih yang disebabkan masing-masing negara mengklaim kepemilikannya yang berdasarkan versinya sendiri, baik secara historis maupun secara legal formal (tertulis), serta proses penguasaan dan dasar argumentasi yang dikemukakan masing-masing negara itu untuk menguasai gugusan pulau yang terdapat di Spratly.
1.2. Identifikasi Masalah
Ditelusuri dari akar permasalahannya, konflik sebenarnya adalah mengenai klaim-klaim di wilayah perairan dan kepulauan di kawasan Laut Cina Selatan. Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel menjadi fokus perebutan antar negara-negara pengklaim (claimatants). Tetapi yang lebih disorot adalah Kepulauan Spratly yang kemudian menjadi isu dominan buah bibir internasional.
Banyaknya negara yang yang ikut andil dalam konflik ini karena memiliki berbagai kepentingan didalamnya, sehingga menyebabkan kawasan kepulauan Spartly tidak lagi kondusif. Ketidakstabilan hubungan pun terjadi dalam bidang politik dan diplomatik, jika tidak ditangani dengan baik akan berpotensi menimbulkan ancaman yang serius.
Dari beberapa negara yang terlibat, Cina merupakan yang paling tegas menyatakan klaimnya atas kepemilikan kepulauan Spartly walaupun di sisi lain
1.3. Dasar Teori
Menurut Praider-Fodere, dipomasi merupakan seluruh pengetahuan serta dasar-dasar yang diperlukan untuk melaksanakan serba urusan resmi antar-negara dengan baik. Diplomasi memang sebenarnya mencetuskan ide pengelolaan maslah-maslah internasional, pengendalian hubungan-hubungan luar negeri. Mengadakan saling pertukaran, baik secara damai maupun dalam keadaan permusuhan.[iii] Secara lebih singkatnya diplomasi merupakan ilmu mengenai hubungan-hubungan serta kepentingan-kepentingan dari negara-negara untuk mendamaikan perbedaan-perbedaan antar bangsa.
1.4. Rumusan Masalah
Dari identifikasi masalah di atas, ada 2 pertanyaan yang menjadi perhatian penulis, yaitu:
1. Apa faktor yang melatarbelakangi Cina mengklaim kepemilikan atas kepulauan Spratly?
2. Bagaimana upaya diplomasi yang telah dilakukan ASEAN untuk mengatasi permasalahan atas klaim kepulauan Spartly?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Kepulauan Spratly
Terdapat enam negara yang mengklaim kepemilikan atas Kepulauan Spratly yaitu Cina, Vietnam, Brunei Darussalam, Filipina, Taiwan dan Malaysia. Berdasarkan hukum laut ZEE, dari ke enam negara tersebut sebenarnya hanya Malaysia, Brunei Darussalam, dan Filipina yang berhak atas kepemilikan dan pengelolaan kepulauan Spartly, karena hanya ketiga negara tersebut yang Zona Ekonomi Eksklusifnya mencapai Kepulauan Spratly. Status kepemilikan kepulauan tersebut tidak terlepas dari hukum atau peraturan yang ada mengenai kelautan.
Ahli kelautan Hugo De Groot pada tahun 1609 memperkenalkan azas kelautan yang kemudian dikenal dengan azas laut bebas (mare liberium) yang menyatakan bahwa keberadaan laut bebas berhak untuk dieksploitasi oleh siapa saja tetapi tidak dapat dimiliki oleh siapapun juga. Kemudian atas dasar inilah, Kepulauan Spratly tidak dibenarkan untuk dimiliki oleh negara manapun, karena akan bertentangan dengan azas laut bebas tersebut. Namun seratus tahun kemudian, muncullah azas baru yang kemudian dikenal dengan azas laut tertutup (mare clausum) yang menyatakan bahwa laut dapat dikuasai oleh suatu bangsa dan negara saja pada periode tertentu.[iv]
Secara umum, Kepulauan Spratly memang rawan memiliki potensi untuk terjadinya konflik terutama disebabkan oleh beberapa hal berikut; tempat yang strategis yang dan menyangkut kepentingan beberapa negara, konfrontasi sejarah yang panjang antar negara-negara pengklaim, adanya beberapa klaim kepemilikan yang tumpang tindih, dan perebutan sumber daya alam serta konflik yang paling dominan adalah terjadinya bentrokan senjata antara Cina dan Vietnam pada tahun 1988. Inti permasalahannya adalah adanya ketidakpastian hak kepemilikan atas pulau-pulau dan perairan di sekeliling wilayah kepulauan Spartly.
2.2. Sudut Pandang Hukum Internasional atas Kepulauan Spratly
Jika diihat dari sudut pandang hukum internasional atas kalim kepulauan Spartly, maka kita bisa mengacu kepada hukum laut internasional, yaitu UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) 1982.
1. Pasal 15 UNCLOS 1982 mengenai garis tengah dalam penetapan batas dua negara pantai
“Untuk menentukan garis tengah wilayah laut dua negara yang berhadapan atau bersebelahan, maka diukur dari jarak tengah dari masing-masing titik terdekat garis pantai masing-masing negara . . .”
2. Pasal 76 UNCLOS 1982 mengenai Landas Kontinen
“Batas terluar landas kontinen suatu negara pantai dinyatakan sampai kedalaman 200 mil laut atau di luar batas itu sampai kedalaman air yang memungkinkan dilakukannya eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam . . .”
3. Pasal 122 UNCLOS 1982 mengenai Laut Setengah Tertutup
“Laut Tertutup atau Setengah Tertutup yang berarti suatu daerah laut yang dikelilingi oleh dua atau lebih negara dan dihubungkan dengan laut lainnya atau samudera, oleh suatu alur laut yang sempit atau terdiri seluruhnya atau dari laut territorial dan Zona Ekonomi Eksklusif dua atau lebih negara pantai.”
4. Pasal 289 UNCLOS 1982 mengenai penentuan penetapan batas wilayah
“Penetapan batas wilayah sebaiknya dengan melakukan perjanjian internasional yang disepakati negara-negara, dan penggunaan hak sejarah dapat digunakan asalkan tidak mendapat pertentangan dari negara lain . . .”
5. Pasal 279, 280, 283, dan 287 UNCLOS 1982 mengenai penyelesaian sengketa
Pasal-pasal tersebut diatas menjelaskan mengenai kewajiban dari setiap pihak yang bertikai untuk menyelesaikan sengketa dengan cara-cara yang damai.[v]
2.3. Kronologis Sejarah Klaim Cina
Cina yang lebih dikenal sebagai Negeri Tirai Bambu merupakan satu-satunya negara pengklaim kepulauan Spartly sampai dengan Perang Dunia I. Berikut merupakan kronologis langkah-langkah yang telah dilakukan Cina dalam upayanya menegaskan kedaulatannya atas Kepulauan Spratly:
Dimulai pada tahun 1883: Cina memprotes ekspedisi Jerman ke Kepulauan Spratly
Tahun 1887: Cina membuat perjanjian perbatasan dengan Perancis (
Tahun 1930-1945: Kepulauan Spratly secara bergantian dikuasai oleh Jepang dan Perancis
Tahun 1946: Cina mengirim pasukan kapal perangnya untuk menduduki Kepulauan Spratly
Tahun 1947: Cina memasukkan wilayah Kepulauan Spratly kedalam Provinsi
Tahun 1949: Pemerintah Komunis Cina menegasan klaim atas seluruh Kepulauan Spratly
Tahun 1951: Perdana Menteri Chou En Lai membuat pernyataan akan kepemilikan Kepulauan Spratly
Tahun 1958: Cina mengesahan deklarasi mengenai batas Perairan Teritorial
Tahun 1988: Cina membangun kawasan Fiery Cross Reef yang juga diklaim oleh
Tahun 1992: Cina membuat Undang-Undang tentang Laut Teritorial dan Zona Tambahan
Tahun 1995: Cina membuat Peta Maritim hingga ke wilayah Natuna
Tauhun 1996: Cina mengesahkan undang-undang batas perairan teritorialnya
2.4. Faktor-faktor yang Mendasari Kebijakan Klaim Cina
Klaim Cina untuk mendapatkan kepulauan Spratly adalah berdasarkan sejarah negaranya dan garis batas maritim tradisional. Negara yang beribukotakan di
Kebijakan yang cukup bertentangan dengan UNCLOS 1982 adalah undang-undang terbarunya, yaitu undang-undang Maritim yang disahkannya pada tanggal 15 Mei 1996 yang berisikan tentang batas perairan teritorialnya yang ditarik dari garis pantai di sepanjang daratan Cina dan Kepulauan Paracel di sebelah utara Laut Cina Selatan, dengan menggunakan prinsip garis dasar lurus dan garis dasar negara kepulauan. Undang-undang ini mengindikasikan Cina untuk memasukkan Spratly dan Paracel ke dalam wilayah maritimnya seluas 200 mil dari laut. Untuk mewujudkan ambisinya, Cina menghubungkan wilayah daratan negaranya dengan Pulau Hainan, lalu menerapkan garis dasar negara kepulauan di sekeliling Kepulauan Paracel. Hal ini bertolak belakang dengan UNCLOS, karena sejalan dengan ketentuan didalamnya Kepulauan Paracel tidak dapat diartikan sebagai kepulauan, karena tidak memenuhi kriteria kepulauan seperti yang tercantum dalam UNCLOS.
Faktor lain yang cukup beralasan adalah kepentingan nasionalnya untuk mempertahankan wilayah kedaulatannya yang sedemikian luas agar tetap terintegrasi sehingga dapat memperkuat daya saing negaranya di kancah internasional. Ambisi ini semakin meruncing semenjak berakhirnya Perang Dingin dimana dua kekuatan utama dunia, Amerika Serikat dan Uni Sovyet mulai meredup. Dalam hal ini Cina ingin tampil sebagai pusat kekuatan baru yang bisa diperhitungkan.
Selain faktor-faktor diatas, Negeri Tirai Bambu ini juga haus akan sumber daya alam yang terkandung didalamnya dimana kawasan ini dinilai mempunyai cadangan kandungan mineral yang melimpah seperti hidrokarbon, tembaga, fosfat, dan terutama minyak bumi. Alasan ini sangat logis karena selama ini Cina selalu kekurangan sumber-sumber daya alam mineral di daratan untuk menunjang pembangunan industrinya serta untuk menunjukkan supremasinya sebagai negara besar dengan indikator perekonomian yang maju.
2.5. Peran diplomasi ASEAN Dalam Penyelesaian Konflik Kepulauan Spratly
ASEAN merupakan organisasi kawasan di Asia Tenggara memegang peranan penting dalam menjaga stabilitas keamanan di Asia Pasifik. Dalam konflik ini terdapat dua negara anggota ASEAN yang terlibat, yaitu
Tujuan ASEAN membentuk forum ini yaitu: pertama, adanya peluang konflik antar negara yang disebabkan oleh pergeseran kekuasaan sebagai akibat dari pembentukan ekonomi yang pesat. Kedua, sikap keanekaragaman dalam kawasan menyebabkan perbedaan pendekatan terhadap masalah perdamaian dan keamanan. Serta yang ketiga adalah konflik teritorial dan pertikaian yang menyangkut hal lain antar negara yang belum terselesaikan.
ASEAN juga prakarsa atas adanya sebuah forum khusus yang mengagendakan masalah Kepulauan Spratly sebagai agenda pembahasan yaitu dalam forum ASEAN-Cina Senior Officials Consultation (ACSOC). Forum ini berlangsung pada bulan April 1995 dan berakhir pada tahun 2002.[vi] Dalam forum ini ASEAN bermaksud untuk mengatur tindakan Cina sebagai negara pengklaim Kepulauan Spratly terbesar dan terkuat.
Upaya diplomasi ketiga yang ditempuh ASEAN adalah dengan membentuk code of conduct antar pihak yang terlibat persengketaan serius dalam klaim kawasan kepulauan Spartly. Isi dari code of conduct tersebut adalah sebagai berikut:
1. Sengketa territorial diantara kedua belah pihak tidak boleh mempengaruhi dalam perkembangan hubungan normal diantara mereka. Sengketa akan diselesaikan dengan cara damai dan bersahabat melalui diplomasi konsultasi yang berdasarkan persamaan dan sikap saling menghormati.
2. Harus diambil upaya untuk membangun sikap saling percaya diantara kedua belah pihak untuk memperbaiki suasana perdamaian dan stabilitas di kawasan, dan untuk menahan diri dari penggunaan kekuatan atau ancaman untuk menggunakan kekuatan militer dalam menyelesaikan sengketa.
3. Dengan semangat untuk mencari titik persamaan dan mengurangi perbedaan, proses kerjasama bertahap dan progresif akan diambil, dengan mempertimbangkan perundingan untuk menyelesaikan sengketa kawasan tersebut.
4. Kedua belah pihak sepakat untuk menyelesaikan pertikaian sesuai dengan UNCLOS 1982.
5. Kedua belah pihak sepakat untuk bersikap terbuka atas prakarsa dan usulan konstruktif dari negara-negara di kawasan untuk membangun kerjasama multilateral di Laut Cina Selatan pada waktu yang tepat.
6. Saling mendorong kerjasama di bidang perlindungan kelautan, pencegahan, penanggulangan kecelakaan, operasi SAR (Search and Rescue), meteorology dan penanggulangan potensi konflik.
7. Kedua belah pihak harus bekerjasama untuk melindungi dan mengkonversi sumber-sumber daya di Laut Cina Selatan.
8. Perselisihan akan dilaksanakan oleh negara-negara yang terlibat secara langsung tanpa mengganggu kebebasan navigasi di Laut Cina Selatan.
BAB III
PENUTUP
Klaim yang digunakan oleh negara-negara yang bersangkutan tidak selamanya menggunakan atas dasar aspek-aspek hukum yang sudah tercantum dalam Hukum Laut Internasional. Misalkan saja Cina yang menuntut dengan dasar aspek-aspek sejarah negaranya. Cina sadar jika klaimnya didasarkan pada ketetapan landas kontinen 350 mil laut dan ZEE 200 mil laut, dapat dipastikan secara otomatis Cina tidak akan pernah memiliki hak atas Kepulauan Spratly.
Pendekatan diplomasi soft power yang dilakukan ASEAN ternyata cukup membuahkan hasil karena mampu menggandeng Cina yang selalu dikhawatirkan sebagai ancaman kedalam forum diplomasi tersebut. Cina juga bersedia untuk melaksanakan kesepakatan-kesepakatan kerjasama yang dihasilkan dalam setiap forum yang diselenggarakan. Setelah melewati proses perundingan, maka terdapat tiga kemungkinan yang akan terjadi, yaitu: munculnya konflik militer, terciptanya persetujuan damai, dan terciptanya kerjasama diantara negara yang bersengketa.
Rekomendasi yang mungkin dapat dilakukan dalam penyelesaian persengketaan ini adalah pengelolaan bersama atas potensi sumberdaya alam yang terkandung di kawasan kepulauan Spartly. Kerjasama ini adalah upaya bersama dalam peredaan ketegangan antar negara pengklaim kepulauan Spartly di kawasan Laut Cina Selatan. Hal ini mungkin dapat direalisasikan karena penyelesaian masalah-masalah yang berkaitan dengan aspek politik dan yuridis seperti pertentangan batas-batas ZEE, landas kontinen dan kepemilikan kawasan kepulauan Spartly tampaknya memerlukan penyelesaian yang cukup alot dari segi waktu maupun aspek-aspek yang mendasarinya, karena hal ini berkaitan dengan integritas dan national interest masing-masing Negara. Oleh karena itu, upaya yang dapat ditempuh dalam jangka pendek adalah diplomasi antar negara-negara yang bersangkutan terkait dengan pengelolaan potensi konflik dengan pengembangan kerjasama untuk pengolahan serta pemanfaatan sumber daya alam yang terdapat di kawasan kepulauan Spartly.
DAFTAR PUSTAKA
CPF, Luhulima. ASEAN Menuju Postur Baru.
Wignjosoebroto, Soetandyo. Asia Tenggara Pasca Kamboja Antisipasi
Dam, Syamsumar. Upaya Peredaman Konflik di Kepulauan Spratly. Artikel mengenai Pengelolaan Potensi Konflik di Laut Cina Selatan oleh Badan Litbang Departemen Luar
United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS)-
Sukma, Rizal. “ASEAN dan Cina: Menuju Kemitraan Setara” ASEAN dan Tantangan Satu Asia Tenggara (
[i] CPF. Luhulima. 1997. ASEAN Menuju Postur Baru.
[ii] Soetandyo Wignjosoebroto (peny). 1992. Asia Tenggara Pasca Kamboja Antisipasi
[iii] Jusuf Badri. Kiat Diplomasi, Pengertian dan Ruang Lingkup.Jakarta:Restu Agung. Hlm.21.
[iv] Syamsumar Dam. Upaya Peredaman Konflik di Kepulauan Spratly. Seminar tentang Pengelolaan Potensi Konflik di Laut Cina Selatan ya ng diselenggarakan oleh Badan Litbang Departemen Luar
[v] United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS)-
[vi] Rizal Sukma. 1997. “ASEAN dan Cina: Menuju Kemitraan Setara” ASEAN dan Tantangan Satu Asia Tenggara